BENGKALIS - Wakil Bupati Bengkalis, H Suayatno, sekitar setengah jam yang lau, Senin (13/7/2015), membuka Festival Lampu Colok 27 Ramadan atau oleh masyarakat Bengkalis akrab disebut malam 7 Likur yang dipusatkan di Desa Simpang Ayam Kecamatan Bengkalis.
Dalam sambutannya, Wabup menyebut budaya menghidupkan lampu colok di malam 27 Ramadhan merupakan identitas budaya Melayu. Disana kata Wabup, ada nilai kebersamaan, gotong royong, sosial dan lainnya.
Menyalakan colok itu sendiri kata Wabup, berawal dari keinginan para orang tua-tua dahulu untuk menerangi malam-malam akhir Ramadan, utamanya menerangi jalan menuju ke masjid untuk membayar zakat dan lainnya.
"Menyalakan atau budaya colok ini bagian dari identitas Melayu. Karena disana ada nilai-nilai kebersamaan, sosial, tolong-menolong dan lainnya. Harapan kita tentunya budaya yang baik itu tetap kita pertahankan, dengan tidak mengabaikan amalan-amalan Ramadan," ujar Wabup.
Festival Colok pada malam 27 bulan Ramadan memang dinanti masyarakat. Tal heran, banyak yang datang ke Bengkalis hanya untuk menyaksikan keindahan lampu colok beragam miniatur.
Peresmian lampu colok saban tahun bertukar tempat. Jika tahun sebelumnya peresmian berlangsung di desa Air Putih, tahun ini atau Ramadan kali ini di Desa Simpang Ayam.
Seperti disampaikam koordinator festival colok desa Simpang Ayam, Dahari, bahwa tahun ini ada empat menara colok yang berdiri di desa Simpang Ayam. Untuk satu menara rata-rata 5000 kaleng, dengan jumlah minyak 1,5 drum untuk satu menara.Pantauan di lapangan, jumlah menara colok tahun ini jauh berkurang dari tahun-tahun sebelumnya, hal itu disebabkan tingginya harga minyak serta beratnya pekerjaan membangun menara colok.
"Untuk menara yang mendafar ikut bertanding memang ada bantuan dari Pemkab Bengkalis masing-masing Rp 2 juta. Alhamdulillah bisa bertahan dua malam," ujar Dahari lagi. (ail)/GoRiau
Dalam sambutannya, Wabup menyebut budaya menghidupkan lampu colok di malam 27 Ramadhan merupakan identitas budaya Melayu. Disana kata Wabup, ada nilai kebersamaan, gotong royong, sosial dan lainnya.
Menyalakan colok itu sendiri kata Wabup, berawal dari keinginan para orang tua-tua dahulu untuk menerangi malam-malam akhir Ramadan, utamanya menerangi jalan menuju ke masjid untuk membayar zakat dan lainnya.
"Menyalakan atau budaya colok ini bagian dari identitas Melayu. Karena disana ada nilai-nilai kebersamaan, sosial, tolong-menolong dan lainnya. Harapan kita tentunya budaya yang baik itu tetap kita pertahankan, dengan tidak mengabaikan amalan-amalan Ramadan," ujar Wabup.
Festival Colok pada malam 27 bulan Ramadan memang dinanti masyarakat. Tal heran, banyak yang datang ke Bengkalis hanya untuk menyaksikan keindahan lampu colok beragam miniatur.
Peresmian lampu colok saban tahun bertukar tempat. Jika tahun sebelumnya peresmian berlangsung di desa Air Putih, tahun ini atau Ramadan kali ini di Desa Simpang Ayam.
Seperti disampaikam koordinator festival colok desa Simpang Ayam, Dahari, bahwa tahun ini ada empat menara colok yang berdiri di desa Simpang Ayam. Untuk satu menara rata-rata 5000 kaleng, dengan jumlah minyak 1,5 drum untuk satu menara.Pantauan di lapangan, jumlah menara colok tahun ini jauh berkurang dari tahun-tahun sebelumnya, hal itu disebabkan tingginya harga minyak serta beratnya pekerjaan membangun menara colok.
"Untuk menara yang mendafar ikut bertanding memang ada bantuan dari Pemkab Bengkalis masing-masing Rp 2 juta. Alhamdulillah bisa bertahan dua malam," ujar Dahari lagi. (ail)/GoRiau