BENGKALIS -- Wartawan dan kebohongan adalah dua hal yang tak boleh bersenyawa. Tak boleh bersatu padu. Keduanya ibarat dua kabel listrik yang tak boleh bersinggungan. Berbahaya, bisa korsleting. Bila bersenyawa akan menghasilkan hoaks.
“Wartawan adalah profesi yang menuntut kejujuran dan keterusterangan dalam memperoleh dan mempublikasikan sebuah informasi (berita)”, tegas Kadis Kominfotik Kabupaten Bengkalis Johansyah Syafri.
Mantan Kabag Humas Setda Bengkalis ini mengatakan itu ketika menjadi narasumber seminar dan workshop jurnalistik di Politeknik Negeri Bengkalis (Polbeng), Sabtu, 26 Oktober 2019.
Seminar dan workshop yang berlangsung sehari tersebut dibuka secara resmi Wakil Direktur III Bidang Kemahasiswaan dan Kerjasama Polbeng yang diwakili Sekretaris Jurusan Teknik Sipil Plbeng Faisal Ananda.
Kegiatan yang diikuti 80 peserta dan difasilitasi Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Jurnalistik Cendekia Polbeng tersebut diselenggarakan di Aula Gedung Utama Polbeng, jalan Bathin Alam, Desa Sungai Alam, Kecamatan Bengkalis, Kabupaten Bengkalis, Riau.
Bukan Hanya 5W dan 1H
Menurut Johan, untuk menjadi wartawan dalam arti yang sesungguhnya, seseorang bukan hanya harus mengetahui dan memahami 5W dan 1H dalam membuat sebuah berita.
“5W dan 1H itu hanya prinsip dasar. Masih banyak lagi aturan yang harus ditaati. Diantaranya Kode Etik Wartawan Indonesia (KEWI)”, imbuh Johan yang memang pernah menjadi wartawan di sebuah mingguan terbitan Pekanbaru ini.
KEWI, sambung Johan, merupakan rambu-rambu yang harus dipatuhi oleh setiap wartawan dalam mengumpulkan, menulis dan mempublikasikan sebuah berita.
Selain itu, kata mantan Kabag Humas Setda Bengkalis ini, seorang jurnalis juga harus mampu menguasai berbagai disiplin ilmu.
“Ini berat. Tetapi itulah tantangan bagi seorang wartawan agar dia dapat menyebarkan informasi yang berkualitas kepada masyarakat. Untuk itu, seorang jurnalis dituntut harus banyak membaca”, paparnya.
Seperti Helm SNI
Masih menurut Johan, bagi seorang wartawan, KEWI itu tak ubahnya helm SNI (Standar Nasional Indonesia).
“Bukan untuk Polantas yang melakukan razia. Tapi untuk melindungi kepala pengendara sepeda motor. Manfaatnya untuk yang bersangkutan”, jelasnya.
Sayangnya, seraya mengutip hasil penelitian Aliansi Jurnalistik Independen (AJI), kata Johan, banyak orang yang katanya wartawan, tidak pernah membaca dan memahami KEWI.
“Menurut hasil penelitian AJI di tahun 2006, 85 persen wartawan di Indonesia tidak pernah membaca dan memahami kode etik jurnalistik”, ujarnya Johan.
Kepada mahasiswa Polbeng yang benar-benar ingin menjadi wartawan, Johan berharap untuk membaca dan memahami KEWI.
“KEWI itu terdiri dari 11 Pasal. Jumlah penafsiran untuk masing-masing Pasal adalah 484 5224 2223. Maksudnya, untuk Pasal 1 ada 4 penafsiran, Pasal 2 ada 8 penafsiran, Pasal 3 ada 4 penafsiran, dan seterusnya”, papar Johan.
Selain Wakil Direktur III Polbeng Bidang Kemahasiswaan dan Kerjasama yang diwakili Sekretaris Jurusan Teknik Sipil Faisal Ananda, hadir juga dalam pembukaan seminar dan workshop tersebut Pembina UKM Jurnalistik Cendekia Polbeng Andriano, dan ketua pelaksana kegiatan Putri Betha Sitinjak.
Selain Kadis Kominfotik, reporter RRI Bengkalis TS Muhammad Iqbal juga menjadi narasumber seminar dan workshop yang mengusung tema “Good Journalist Makes Better Future” tersebut.
Jika Kadis Kominfotik menyampaikan materi dengan tajuk “Cara Membangun Jurnalis Muda Kretarif dan Profesional untuk Informasi yang Mencerdaskan”, TS Muhammad Iqbal dengan judul “Tata Cara Menulis Artikel dengan Mudah & Kreatif”. #DISKOMINFOTIK